Saturday, January 23, 2016

antropologi(kebudayaan)




BAB III
KEBUDAYAAN

1.      DEFINISI MENURUT ANTROPOLOGI

Menurut para ahli biologi manusia adalah salah satu di antara hampir sejuta jenis mahluk lain yang hidup di alam dunia ini, yang terdiri dari mahluk-mahluk yang sangat sederhana ragawinya, seperti misalnya protozoa, hingga jenis mahluk yang sangat kompleks,yaitu primat. Namun, diantara semua mahluk itu manusia manusia memiliki keunggulan, yaitu kebudayaan, yang memungkinkannya hidup di segala macam lingkungan alam, sehingga ia menjadi mahluk yang paling berkuasa dimanapun ia berada.

Walaupun demikian, segala kemampuan manusia itu tidak merupakan bawaan dari alam (yang juga dinamakan “naluri”, karena sudah terprogram di dalam gennya, seperti halnya pada hewan), tetapi harus dikuasainya dengan belajar.
                                 
Dalam antropologi, yang meneliti dan menganalisa berbagai cara hidup manusia dan berbagai system tindakan manusia, aspek belajar merupakan aspek pokok. Karena itu dalam memberi batasan kepada konsep “kebudayaan”, antropologi seringkali sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Arti “ kebudayaan” dalam bahasa sehari-hari pun umumnya terbatas pada segala sesuatu yang indah, misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara, kesasteraan, dan filsafat. Menurut antropologi, “kebudayaan adalah seluruh system gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang di hasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”.

Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi, maupun berbagai tindakan membabibuta), sangat terbatas. Bahkan berbagai tindakan yang merupakan nalurinya (misalnya makan, minum, dan berjalan) juga telah banyak dirombak oleh manusia sendiri sehingga menjadi tindakan kebudayaan. Manusia makan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap wajar dan pantas; ia makan dan minumdengan mengunakan alat-alat, cara-cara, serta sopan-santun atau protocol yang kadang-kadang sangat rumit, yang harus dipelajarinya dengan susah payah. Berjalanpun tidak dilakukannya lagi sesuai dengan wujud organismenya yang telah ditentukan oleh alam, karena gaya berjalan itu telah disesuaikan dengan berbagai gaya berjalan yang harus dipelajarinya terlebih dahulu yaitu misalnya gaya berjalan seorang prajurit atau pragawati, ataau gaya berjalan yang lemah lembut.

Definisi menganggap bahwa kebudayaan dan tindakan kebudayaan merupakan segala tindakan yang harus dibiasakan dengan belajar diajukan poleh ahli-ahli antropologi C. Wissler,52C. kluckhohn,53  A. davis,54  dan A. Hoebel.55  definisi-definisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja diantara sejumlah definisi lain yang ada, baik definisi-definisi yang diajukan oleh para pakar antropologi, maupun para ahli ilmu-ilmu sosologi, filsafat, sejarah, dan kesusasteraan. Sebanyak 176 definisi mengenai “kebudayaan” yang pernah muncul dalam berbagai tulisan telah berhasil dikumpulkan oleh A. L. Kroeber dan C. kluckhohn, yang kemudian mereka analisa dan cari latar belakang, prinsip,serta intinya, lalu diklasifikasikan ke dalam Sembilan tipe definisi. Hasil penelitian itu mereka terbitkan bersama dalam buku berjudul culture: A Critical review of concepts and definitions (1952).




Istilah “kebudayaan” dan “culture”.Kata “kebudayaan” berasal dari kata sansekerta buddhayah,yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “kekal”.

Kata asing culture yang berasal dari kata latin colere (yaitu “mengolah”, “mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), meemiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”, yang kemudian berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.

Perbedaan antara kebudayaan dan peradaban. Selain istilah “kebudayaan”, kita juga mengenal istilah “peradaban”, yang dalam bahasa inggris disebut civilization, dan dipakai untuk menyebut bagian-bagian serta unsure-unsur dari kebudayaan yang sifatnya halus, maju, dan indah, seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun serta pergaulan, kepandaian menulis, organisasi bernegara, dan lain-lain. Istilah “peradabaan” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, serta masyarakat kota yang maju dan kompleks.

2.      EMPAT WUJUD KEBUDAYAAN
Pakar sosiologi Talcott parsons maupun pakar antropologi A.L.Koeber pernah menganjurkan untuk    membedakan antara kebudayaan sebagai suatu sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep, dan wujudnya sebagai rangkaian tindakan serta aktivitas manusia yang berpola.56 dalam rangka itu J.J Honingmann membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (2) Artifacts.
Namun demikian, penulis menyarankan agar kebudayaan dibeda-bedakan sesuai dengan empat wujudnya, yang secara simbolis digambarkan sebagai empat lingkaran konsentris (lihat bagan 10). Lingkaran paling luar, dan karena itu letaknya pada bagian paling luar, melambangkan kebudayaan sebagai: (1) artifacts, atau benda-benda fisik; (2) lingkaran berikutnya (dan tentunya lebih kecil) melambangkan kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola; (3) lingkaran yang berikutnya lagi (dan lebih kecil daripada kedua lingkaran yang berada di sebelah “luar”-nya, melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan; dan (4) lingkaran hitam yang letaknya paling dalam dan bentuknya juga paling kecil, dan merupakan pusat atau inti dari seluruh bagan 10, melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan yang ideologis.
Contoh  dari wujud konkret dari kebudayaan, yang dalam bagan digambarkan sebagai lingkaran 1, yaitu paling besar, adalah antara lai banggunan-banggunan megah seperti candi borobudur, benda-benda bergerak seperti kapal tangki, komputer, piring, gelas, kancing baju, dan lain-lain. Semua benda hasil karya manusia tersebut bersifat konkret dan dapat diraba serta difoto.Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam wujud konkret ini adalah “kebudayaan fisik”.
Lingkaran 2 mengambarkan wujud tingkah laku manusianya, yaitu misalnya menari,berbicara,tingkah laku dalam melakukan suatu pekerjaan,dan lain-lain. Kebudayaan dalam wujud ini masih bersifat konkret, dapat difoto, dan dapat difilm.Semua gerak-gerik yang dilakukan dari saat ke saat dan dari hari ke hari, dari masa ke masa merupakan merupakan pola-pola tingkah laku manusia disebut “sistem sosial”.
Lingkaran 3 mengambarkan wujud gagasan dari kebudayaan, dan tempatnya adalah dalam kepala tiap individu warga kebudayaan yang bersangkutan, yang dibawahnya kemana pun ia pergi. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak, tak dapat difoto dan difilm, dan hanya dapt diketahui dan dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik melalui wawancara yang intensif atau dengan membaca.

Kebudayaan dalam wujud gagasan juga perpola dan berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut “sistem budaya”.
Lingkaran 4, yang bagan diberi warna hitam, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini, dan karena itu sangat suar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-unsur kebudayan yang merupakan pusat dari semua unsur yang lain itu adalah “nilai-nilai budaya”, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia suatu kebudayan. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia berdasarkan nilai-nilai, pikiran dan tingkahlakunya.

3.      ADAT-ISTIADAT

            Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi. Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Sebabnya ialah karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat,sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan
           
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga sesuatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum, memiliki ruang lingkup yang sangat luas,dan biasanya sangat sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang. Lagipula, dari kecil orang telah di resapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Karena itu untuk menganti suatu nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu lama.

            Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yan saling berkaitan dan bahkan telah merupakan suatu sistem.Sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal, sistem itu menjadi pendorong yang kuat untuk mengarahkan kehidupan warga masyarakat.

suatu sistem nilai budaya seringkali merupakan suatu pandangan hidup, walaupun kedua istilah itu sebaiknya tidak disamakan. “pandangan hidup” biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, dan telah dipilih secara selektif oleh individu-individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai” merupakan pedoman hidup yang di anut oleh suatu masyarakat, maka “pandangan hidup” merupakan seutu pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau bahkan individu-individu. Tertentu dalam suatu masyarakat.Karena itu suatu pandangan hidup tidak berlaku bagi seluruh masyarakat

Konsep “ideologi” juga merupakan suatu sistem pedoman hidup (atau ciri-ciri) yang ingin dicapai oleh para warga suatu masyarakat namun yang sifatnya lebih khusus daripada sistem nilai budaya. “ideologi” dapat menyangkut seluruh masyarakat (dalam kenyataan tentu ada ketercualian) tetapi dapat juga hanya golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, istilah “ideologi” umumnya tidak digunakan dalaam hubungan dengan individu. Karena itu yang ada adalah “ideologi negara”, “ideologi suatu masyarakat”, “ideologi golongan”, dan lain-lain, tetapi kita tidak dapat mengatakan “ideologi si anu”. Untuk hal yang terakhir kita mengatakan “cita-cita si anu”.Ideologi suatu negara negara biasanya disusun secara sadar oleh para tokoh pemiliknya. Yang akan berupaya untuk menyebar-luaskannya kepada para warganya.





Adat-istiadat, norma,dan hukum. Dalam bagian diatas telah kita pelajari bahwa nilai-nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah serta orientasi kepada hidup, sangat umum sifatnya. Sebaliknya, norma yang terdiri dari aturan-aturan  untuk bertindak sifatnya khusus, dan perumusannya pada umumnya sangat rinci,jelas,tegas,dan tidak  meragukan. Apaila sifatnya terlalu umum, ruang lingkupnya terlalu luas, dan perumusannya terlalu kabur, maka suatu norma tidak dapat mengatur tindakan individu, dan malahan dapat membinggungkan pelaksananya.

            Norma-norma yang khusus itu dapat digolongkan menurut pranata-pranata masyarakat yang ada. Dalam BAB V,sub-sub 4 mengenai pranata sosial akan kita pelajari bahwa tiap masyarakat memiliki sejumlah pranata,seperti misalnya pranata ilmiah, pendidikan, peradilan, ekonomi, kesenian, keagamaan, dan sebagainya. Dalam bab yang sama juga diuraikan bahwa dalam setiap pranata ada berbagai kedudukan, dan dalam suatu interaksi sosial, individu ysng menempati kedudukan tersebut memainkan perannya yang sesuai. Dalam hal ini tindakanya harus disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada,yakni menurut norma-norma yang jelas dan tegas.   

Norma-norma yang ada dalam suatu pranata maupun dalam sub-sub pranatanya, tentu saling berkaitan, sehingga merupakan suatu sistem yang integral. Kecuali itu, norma-norma dalam suatu pranata tertentu berkaitan pula dengan norma-norma dalam pranata –pranata lain yang berdekatan, sehingga seluruhnya menjadi sistem-sistem yang lebih luas, yang merupakan unsure-unsur kebudayaan universal. Konsep ini akan dibicarakan secara khusus dalam seksi di bawah.

Sistem-sistem norma yang lebih luas tersebut di atas biasanya hanya dipahami beberapa warga dalam suatu masyarakat, yaitu mereka yang paham mengenai seluk-beluk sistem norma yang terdapat dalam suatu pranata (atau berbagai pranata yang saling berkaitan), yakni para ahli adat. Para ahli adat inilah tempat para warga masyarakat awam yang memiliki pengetahuan mengenai adat yang sangat terbatas, dapat memintah nasihat.

Dalam suatu masyarakat yang sederhana, dimana julmlah pranata yang ada dalam kehidupan masih sangat kecil, dan dimana jumlah norma dalam suatu pranata juga kecil, pengetahuan mengenai semua norma yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan masih dapat dikuasai oleh suatu orang ahli adat saja. Namun apabila suatu masyarakat telah berkembang makin kompleks, sehingga jumlah pranata yang ada juga kian banyak, maka seorang ahli adat tidak mungkin dapat menguasai semuanya.Bahkan sudah sangat banyak, sehingga untuk satu pranata diperlukan sejumlah ahli.Misalnya, norma-norma pranata ekonomi telah menjadi demikian banyaknya sehingga perlu ada seseorang ahli khusus yang paham mengenai norma-norma perdaganggan, seorang ahli khusus yang paham mengenai norma-norma perburuan, seorang ahli khusus yang paham mengenai norma-norma kopersi, dan seterusnya.

Diantara berbagai norma yang ada di dalam suatu masyarakat, ada yang dirasakan lebih besar daripada lainnya. Pelanggaran terhadap suatu norma yang dianggap tidak begitu berat umumnya tidak akan membawa akibat yang panjang, dan mungkin hanya menjadi bahan ejekan atau pengunjinggan para warga masyarakat. Sebaliknya, ada norma-normaa berakibat panjang apabila dilanggar, sehingga pelanggarnya bisa jadi dituntut, diadili, dan dihukum. Ahli sosiologi W.G Sumner menyebut norma-norma golongan pertama folkways, dan norma-norma golongan kedua disebut mores.57 istilah folkways dapat kita terjemahkan dengan “tata cara”, sedangkan mores dapat diterjemahkan dengan “adat-istiadat dalam arti khusus”.

Norma-norma dari golongan adat-istiadat yang mempunyai akibat yang panjang juga merupakan “hokum”, walaupun mores seperti yang dikonsepsikan oleh summer hendaknya tidak disamakan dengan “hokum”, karena norma-norma yang mengatur upacara suci tetentu juga tergolong mores (dalam banyak kebudayaan, norma-norma seperti itu dianggap berat, dan pelanggaran terhadapnya dapat menyebabkan keteganggan dalam masyarakat yang berakibat panjang, walaupun pelanggaran terhadap norma-norma seperti itu



belum tentu mempunyai akibat hokum). Dengan demikian perlu kita ketahui dengan cermat, perbedaan antara norma-norma yang tergolong hukum dan norma-norma yang tergolong hukum adat.

Perbedaan antara “adat” dan “hukum adat” (yaitu antara cirri-ciri dasar dari hukum dan hukum adat) sejak lama telah menjadi buah pikiran para ahli antropologi.58 ada golongan ahli antroplogi yag beranggapan bahwa dalam masyarakat yang tak bernegara (misalnya kelompok-kelompok pemburu dan peramu, serta para peladang yang hidup di daerah terpencil), tidak terdapat aktifitas hukum, karena definisi para ahli mengenai “hukum” mereka batasi pada aktifitas-aktifitas hukum seperti yang terdapat dalam masyarakat yang bernegara (yaitu sistem penjagaan tata tertib masyarakat yang sifatnya memaksa, dan diperkuat oleh suatu sistem alat kekuasaan yang diorganisasi oleh negara). Salah seorang penganut pendirian ini adalah A.R. Radcliffe-brown, yang menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat yang tidak memiliki hukum seperti itu mampu menjaga tata tertib karena mereka memiliki suatu kompleks norma-norma umum (yaitu adat) yang sifatnya mantap dan ditaati oleh semua warganya. Pelanggran-pelanggaran yang terjadi secara otomatis akan menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga pelanggarnya akan dikenai hukuman. Mengenai hal ini, lihat antara lain pendirian Radcliffe-brown dalam tulisannya yang berjudul “ primitive law”, dalam: Encyclopedia of the social sciences (1993,IX-X: hlm 202-206).

Para ahli yang menganut pendirian yang kedua, yaitu antara lain B. Malinoswki, tidak hanya mengkhususkan definisi mereka tentang hukum dalam masyarakat bernegara yang dilengkapi dengan suatu alat-alat kekuasaan saja. Menurut mereka, antara “hukuma” dalam masyarakat bernegara dan “hukum” dalam masyarakat terbelakang ada dasar yang universal sifatnya. Dengan membandingkan beragam masyarakat dan kebudayaan di muka bumi, para ahli ini mengajukan konsepsi tentang dasar dari hukum pada umumnya, yaitu bahwa semua aktifitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi sejumlah hasrat naluri manusia (antara lain hasrat untuk saling memberi dan saling menerima, yang oleh Malinowski
           
Menurut Ter Haar, pedoman untuk mengetahui kapan suatu kasus dalam suatu masyarakat dngan adata dan sistem hukum  yang tidak dikodifikasikan, merupakan kasus atau tidak, adalah keputusan-keputusan para individu pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Pendirian ini di anjurkannya dalam beberapa pidato ilmiah yang pernah di ucapkannya, seperti antara lain pidato berjududl het adatprivaatrecht van nederlandsh-indie in wetenschap, praktijk en onderwijs (1937). Pendirian ini lebih dekat pada pendirian Radcliffe_Brown, baik dalam hukum maupun dalam hukum adat, dan sifat “paksaan” yang datang dari atas senantiasa ada.Dalam masyarakat yang tidak mengenal negara sebagai organisasi yang bersifat memaksa, paksaan dilakukan oleh golongan yang berkuasa, yang ada dalam setiap jenis masyarakat.
4.      UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
unsur-unsur kebudayaan Universal. Dalam menganalisa suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan minangkabau, bali, atau jepang), seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang terintegrasi itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”.  Mengenai hal ini ada beberapa pandangan, sperti yang di uraikan oleh C. Kluckhohn dalam karagannya berjudul Univesal Categories Og Culture (1953). Dengan mengambil intisari dari berbagai kerangka yang ada mengenai unsur-unsur kebudayaan universal, unsur-unsur kebudayaan yang dapat di temukan pada semua bangsa didunia berjumlah tujuh buah, yang dapat di sebut sebagi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu :
  1. Bahasa
  2. Sistem pengetahuan
  3. Organisasi sosial
  4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
  5. Sistem mata pencaharian hidup
  6. Sistem religi
  7. Kesenian

  Tiap unsur kebudayaan universal tentu juga terdapat dalam ketiga wujud kebudayaan terurai diatas (wujud berupa sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisikanya).  Denggan demikian sistem ekonomi, tetap juga berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antar produsen,tengkulak,pandangan,ahli transpor, dan pengecer dengan para konsumen, atau berbagai unsurnya , seperti peralatan,komoditi,dan benda-benda ekonomi.serupa dengan hal tersebut diatas,sistem rligi dapat mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang tuhan, dewa-dewa,ruh-ruh halus,neraka,surga,dan lain-lain, tetapi juga sebagai berbagai upacara ( baik yang musiman maupun kadangkala),maupun berwujud berbagai gagasan ,ciptaan,pikiran,dongeng, atau syair yang indah,tetapi juga dapat mempunyai wujud sebagai berbagai tindakan interaksi berpola antara sesama seniman pencipta, penyelengara,sponsor kesenian, pendengar, penonton,mau pun para peminat hasil kesenian, disamping wujudnya berupa benda-benda yg indah, candi, kain tenun yang indah, dan lain-lain.

            Ketujuh unsur kebudayan universal tersebut diatas merupakn analisa dari rincian kebudayaan ke dalam bagian-bagiannya dan dapat dan dapat dibandingkan daftar pranata-pranata sosial yang akan diuraikan dalam sub-sum 4 dari bab V, yg nerkaitan dengan uraian mengenai rincian masyarakat kedalam bagian-bagiannya oleh unsur-unsur kebudayaan universal, dan metod pembangunan masyarakat oleh suatu pranata.
            Untuk menentukan bagian-bagian dari suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi biasanya mulai dengan pendekatan  holistik, yaitu mengamati kebudayaan yang bersangkut. Baru kemudian ditentukan bagian-bagian dari kebudayaan minangkabau itu, yaitu misalnya sistem kekerabatannya, bagian-bagian khusus dari sistem kekerabatannya (misalnya perkawinan, keluarga inti,rumah tangga, dan lain-lain), dan akhirnya rincian dari unsur perkawinan ke dalam bagian-bagian yg sangat khusus, yaitu adat melamar, upacara pernikahan, penyerahan maskawin, dan lain-lain.
            berbeda dengan metode tersebut di atas, metode yg biasanya digunakan oleh para ahli sosiologi adalah untuk menentukan pranata yg ada dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini masyarakat tidak dipandang sebagai suatu keseluruhan yg kemudian dipilah-pilah ke dalam pranata-pranata tetapi dimulai dari suatu pranata yg telah ditentukan untuk diteliti (misalnya seni pertunjukan srimulat),dengan cara menganalisa organisasinya,latar belakang sosial serta pendidikan para pemainnya, gagasan-gagasan yg melatarbelakangi inti cerita, dan seterusnya.
           
            Dengan berpegang dari keempat kebudayaan yg telah diuraikan dalam sub-sub 2 dari bab ini, yaitu kebudayaan sebagai (1) nilai-nilai budaya, (2) sistem budaya,(3) sistem sosial,dan (4) himpunan unsur-unsur kebudayaan fisik, dan mengunakan metode seperti yg dianjurkan oleh R.Linton, tetapi dengan istilah-istilah yg berbeda, penulisan menyarankan pengunaan kerangka dengan pembagian ke dalam empat tahap, sehingga pada tahap pertamasetiap sistem budaya dapat dibagi kedalam  “adat istiadat”, setiap sistem sosial dapat dibagi kedalam “aktivitas sosial”,  dan setiap impunan unsur kebudayaan fisik dapat dibagi kedalam “benda-benda kebudaayaan” yang masing-masing disebut sesuai dengan nama benda-benda tersebut.
            pada tahap kedua , setiap adat sebaiknya dibagi kedalam “kompleks budaya”, dan begitu juga setiap aktivitas sosial lebih lanjud dibagi kedalam “kompleks sosial”, sedangkan benda kebudayaan tentu tidak berubah.
            pada tahap ketiga, disarankan agar tiap-tiap kompleks sosial lebih lanjud diuraikan menjadi sebagian jenis “pola sosial” dan seperti pada tahap kedua, benda kebudayaan tidak mengalmi perubahan , seperti juga pada tajap berikutnya.
            pada tahap keempat, setiap tema budaya dapat dirinci lagi kedalam “gagasan” dan setiap pola sosial ke dalam “tindakan”
            Sebagai contoh, dibawah ini digambarkan rincihan dari “sistem mata pencarian” kedalam unsur-unsur dan sub-sub unsurnya. Unsur kebudayaan ini dapat dirinci kedalam sub-sub unsur sebagai berikut:perburuan, pelandangan,perkebunan,pertanian,peternakan,perdagangan,industri, kerajinan,  industri pertambangan, industri jasa, industri manufaktur, dan lain-lain, dan wujud wujud dari tiap bagian tersebut adalah adatnya, sementara wujud sistem sosialnya adalah kandungan berupa peralatan yg digunakan.  Organisasi sosial pun dapat dirinci sampai pada sub-sub unsurnya, yaitu sistem kekerabatan, sistem komunikasi, sistem pelapisan sosial, sistem pimpinan, sistem polotik, dan lain-lain.
            Dari contoh diatas tampak bahwa diantara unsur-unsur “organisasi sosial” juga terdapat beberapa yang sifatnya universal, yaitu sistem kekerabatan. Namin demikian,”sistem kekerabatan” sebaiknya dimasukan kedalam “adat” atau “kompleks budaya” saja, dan tidak kedalam “unsur budaya universal” karena hanya berupa sub-unsur khusus saja dari “organisasi sosial”.
            Irigasi, pengelolah dan pengarapan tanah, teknologi menanam, penimbunan hasil pertanian, dan lain-lain, merupakan contoh dari rincian “adat” dan “aktivitas sosial” kedalam beberapa kompleks sosial. Demikian juga perkawinan, tolong menolong antarkerabat,sopan santun pergaulan antarkerabat,sistem istilah kekerabatan, danlain-lain,merupakan rincian dari sistem kekerabatan.setiap sub-unsur tersebut tentu memiliki perlatan-peralatannya masing-masing, yang secara konkret terdiri dari benda-benda kebudayaan.
            Dan contoh-contoh diatas tampak bahwa diantara unsur-unsur tersebut ada yg sifatnya universal, yaitu “perkawinan”.  Namun, seperti halnya “sistem kekerabatan”, “ sistem perkawinan” sebaiknya tidak disebut “unsur kebudayaan universal”,  tetapi tetap “kompleks budaya” dan “ kompleks sosial”saja. Kompleks budaya dan kompleks sosial selanjudnya dapat dirinci lagi kedalam tema budaya dan pola sosial,sehingga”perkawinan” dapan dirinci ke
           
            Dalam “melamar”,”upacara perkawinan”,”perayaan”,”mas kawin”,”harta bawaan mempelai wanita”,”adat menetap sesudah menikah”,”poligami”,”poliandri”, ”perceraian”, dan lain-lain.
            tahap rincian yang terakhir adalah rinci dari tema budaya dan pola sosial dalam  “gagasan” dan “tindakan”, sehingga “ mas kawin” dapat dirinci lebih jauh menjadi sub-sub-unsur seperti misalnya bagian dari harta mas kawin berupah tanah,ternak,benda-benda adat,benda-benda pralambang,perhiasan, uang, dan lain-lain, upacara penyerahan mas kawin, upacara pertukaran harta antara mempelai pria dan wanita, dan lain-lain.
            Unsur-unsur tersebut terakhir ini biasanya tidak ada yg bersifat unversal, karena sudah terlalu khusus sifatnya. Harta mas kawin berupa ternak, misalnya,  tidak berupa unsur yang suka bangsa saja. Walaupun demikian, unsur tersebut terdapat pada sejumlah kebudayaan suku bangsa peternak afrika timur.
            karena itu pada suku-suku bangsa tersebut sapi merupakan unsur yang dominan dari mas kawin.





5.      INTEGRASI KEBUDAYAAN
Metode holistic cara menganalisa suatu kebudayaan tidak hanya dilakukan dengan berbagai cara merincinya kedalam unsur-unser yang lebih kecil yang dipelajari secara mendetail saja, tetapi juga dengan memahami kaitah antar unsur kecil tersebut serta kaitah antara unsur-unsur kecil itu dengan keseluruhannya. Istilah “Holistik” adalah untuk mengambarkan metode pendekatan yang dilakukan terhadap suatu kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral.
            Antropologi memang telah mengambarkan beberapa konsep guna memenuhi  berbagai kaitah antara unsur-unsur kecil dalam suatu kebudayaan dan para ahli tentu juga telah paham akan adanya integrasi atau jaringan berkait antara unsur-unsur kebudayaan itu namun perlunya mempelajari masalah integrasi kebudayaan itu secara lebih mendalam baru disadari setelah tahun 1920.karena itu muncul konsep-konsep untuk menganalisa masalah integrasi kebudayaan,yakini pikiran kilektif, fungsi dari unsur-unsur kebudayaan,fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum.
            Konsep tentang keempat wujud kebudayaan dan konsep tentang tujuan unsur kebudayaan universal terurai dalam sub-bab terdahulu, telah digabungkan oleh penulisan menjadi suatu “kerangka kebudayaan” seperti yang yampak pada bagan 10 dibawah.
            pikiran kolektif. Pada akhir abad ke-19,E. durkheim, pakar sosiologi dan antropologi parancis mengembangkan konsep representations collectives (pikiran-pikiran kolektif), seperti yang diuraikannya dalam kerangkanya berjudul representations individuelles  et representationscollectives  (1898). Cara menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara yang dilakukan dalam ilmu psikologi untuk menguraikan konsep berpikir. Durkheim juga beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas serta proses-proses rohaniah seperti penangkapan pengalaman,rasa,sensasi,kemauan,keingginan, dan lain-lain.  Terjadi dalam organisme fisik manusia, dan cara khusus berpangkas diotak dan sistem sarafnya akal manusia mampu menghubung-hubungkn proses-proses rohaniah.
Gagasan-gagabahkan juga oleh sebagian besar warga suatu masyarakat, sehingga dalam hal itu bicara tentang “gagasan umum”atau “gagasan masyarakat”, yang oleh Durkheim berpendirian bahwa suatu gagasan yang telah dimiliki sebagian warga masyarakat sudah bukan lagi suatu gagasan tunggal mengenai suatu hal khas, tetapi umumnya telah berkaitan dengan berbagai gagasan lan yang sejenis, sehingga menjadi suatu kompleks gagasan-gagasan (representations collectives). Agar lebih mudah membedakan antara gagasan tunggal dan kompleks gagasan-gagasan, sebaliknya representations collectives kita terjemahkan dengan “pikiran kolektifsan juga dapat dimiliki oleh lebih dari seseorang individu, dan”
sebab perkataan  “pikiran” sifatnya lebih luas dari pada “gagasan”.
Menurut Durkheim, apabila suatu kompleks pikiran kolektif  sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka seluruh kompleks itu berada di luar diri si individu karena  seluruh pikiran kolektif serta gagasan-gagasan yang merupakan unsur-unsurnya akan tersimpan dalam bahasa dan dapat tetap dimiliki oleh generasi-generasi berikutnnya. Selain diluar individu, pikiran kolektif juga berada di atas para warga suatu masyarakat, sehingga menjadi pedoman tingkah laku mereka.
Istilah-istilah lain yang juga sering digunakan selain “pikiran umum” atau “pikiran “ adalah configuration, suatu istilah yang mula-mula digunakan oleh ahli ligustik dan antropologi E. Sapir, di dalam bukunya The Unconscions Patterning Of Behavior  In Society (1927), dengan arti yang kurang lebih sama dengan representations collectives dari Durkheim. Namun walaupun istilah configuration banyak di pakai, dalam antropologi istilah ini kurang berkembang.
Fungsi Unsur-unsur Kebudayaan. Beberapa ahli antropologi lain berusaha mencapai pengertian mengenai integrasi kebudayaan dan jaringan berkaitan antara unsur-unsurnya dengan meneliti fungsi unsur-unsur tersebut. Istilah “fungsi” dapat digunakan dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda.
Pemakaian istilah itu dalam tulisan-tulisan ilmiah menurut ahli antropologi M.E. Spiro adalah untuk :
1. Menerangkan fungsi itu sebagai hubungan antara sesuatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari tempat ke tempat lainnya).
2. Menjelaskan kaitan antara suatu hal (X) dengan hal lain (Y), sehingga apabila nilai S berubah, maka nilai Y yang di tentukanoleh X, juga berubah.
3. Menerangkan hubungan yang terjadi antara suatu hal dan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari organisme yang berubah menyebabkan perubahan pada bebagai bagian lain dan malahan dapat menyebabkan perubahan dari seluruh organisme)
“Fungsi” dalam arti pertama yang merupakan istilah yang umum, baik dalam bahasa ilmiah maupun bahasa sehari-hari.Dalam ilmu pasti, tetapi juga dalam imu-ilmu sosial, artinya yang kedua dari istilah itu sangat penting, dan dalam artinya yang ketiga terkandung kesadaran dan adannya integrasi kebudayaan.
Pandangan bahwa kebudayaan yang hidup sebagai suatu sistem yang terintegrasi, mulai berkembang setelah tahun 1925, dengan terbitnya buku etografi B. Malinowski tentang penduduk kepulauan Trobriand, yaitu The Argonauts Of The Western Pacific (1922). Buku mengenai kehidupan orang papua tersebut di tuliskan dengan gaya bahasa yang sangat memukau dan dengan cara yang sangat khas.
fokus dari buku tersebut adalah sistem pelayaran untuk perdagangan antarpulau, yang bahasa setempat disebut kula. Perahu-perahu percadik yang di gunakan untuk pelayaran tersebut menempuh jarak puluhan mil dan berlangsung berbulan-bulan, untuk memperdagangkan benda-benda cuci (sulava) berupa kalung-kalung terbuat dari kerang secara barter benda-benda suci lainnya yang bernama mwali, berupa gelang-gelang, yang di bawah oleh perahu-perahu yang datang dari arah yang berlawanan. Bersamaan dengan pertukaran benda-benda suci itu, terjadi juga berbagai transaksi oerdagangan dan barter dari sejumlah benda ekonomi.
Cara menulis suatu deskripsi etnografi terintegrasi (holistik) seperti tersebut di atas pada zaman Malinowski itu merupakan suatu hal baru dalam antropologi.
Pada waktu itu banyak ahli antriopologi dari aliran kulturhistorisch (yaitu aliran sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan di muka bumi) secara ekstrem memusatkan perhatiannya pada arah penyebaran geografi dari sejumlah unsur kebudayaan tertentu, tanpa mengindahkan adanya suatu jaringan kaitan berfungsi dengan kebudayaan induknya. Oleh karena itu cara penulisan Malinowski yang mengambarkan integrasi kebudayaan trobriand yang berpusat pada perdangangan ula itu merupakan kontras yang sangat menarik pada waktu itu.
Jalan pikiran mengenai jalan fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan suatu masyarakat, yang mulai muncul setelah terbitnya tulisan  malinowski tersebut di atas, kemudian di sebut aliran Fungsionalisme.
Dalam aliran itu ada berbagai pendapat mengenai fungsi dasar dari unsur-unsur kebudayaan manusia, yang dalam buku ini tidak perlu diuraikan panjang lebar, walaupun pendapat Malinowski sendiri mengenai masalah itu ada gunanya kita tinjau di sini. Menurut Malinowski, berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat gunanya untuk memuaskan sejumlah hasrat naluri manusia. Karena itu unsur “kesenian”, misalnya, berfungsi untuk memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur “sistem pengetahuan” untuk memuaskan hasrat untuk tahu. Andaikata kita dapat membuat suatu daftar yang sangat lengkap dari semua hasrat naluri manusia di sebelah kiri, maka sebelah kanan dapat di buat daftar dari unsur-unsur kebudayaan manusia yang sejajar dengan hasrat-hasrat tadi (tentu ada unsur-unsur kebudayaan yang berfungsi untuk memuaskan lebih dari hasrat, seperti misalnya keluarga, yang dapat berfungsi untuk memenuhi hasrat akan perasaan aman dan mesra, tetapi juga akan prokreasi; dan rumah dapat memenuhi kebutuhan orang akan perlindungan fisik, tetapi juga gengsi atau keindahan).
Teori mengenai fungsi kebudayaan dikembangkan Malinowski pada akhir hayatnya, sehingga terbitnya buku yang memuat teori itu, yaitu A Scientific Theory Of Culture And Other Essays (1944) tidak sempat dialaminya.
Fokus kebudayaan. Dalam berbagai kebudayaan terdapat satu atau beberapa unsur kebudayaan atau pranata yang menjadi unsur pusat dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga unsur tersebut digemari oleh warga masyarakat dan mendominasi berbagai aktifitas atau pranata lain yang ada. Contohnya adalah kesenian dalam masyarakat orang bali, gerakan kebaktian dan mistik dalam kebudayaan golongan pegawai negeri (yaitu priyayi) di jawa tengah, peran antaraferderasi kelompok kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Dani di irian jaya (yang sejak tahun 1979-an sudah tidak di perkenakan lagi), atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand.
Suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak sangat digemari warga masrakat yang bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton disebut caltural interest atau social interest. Untuk penggunaannya dalam bahasa indonesia, penulis mengusulkan istilah “fokus kebudayaan”, yaitu suatu istilah untuk pertama kali digunakan oleh M.J. Herskovits.
Etos Kebudayaan. Dari suatu kebudayaan dapat tampak suatu watak khas (ethos), seperti yang tampak misalnya pada gaya tingkah laku, kegemaran, atau benda-benda budaya hasil karya para warga masyarakat . Dengan demikian orang batak yang mengamati kebudayaan jawa yang bagian asing., mungkin akan mengatakan bahwa watak khas kebudayaan jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenagan yang berlebihan sehingga dapat di sebut lamban, kebiasaan dan tingkah laku yang mendetil (njlimet),dan
Dalam artopologi, penelitian-penelitian mengenai watak kebudayaan seperti itu di pelopori oleh Ruth Benedict yang menggambarkan watak kebudayaan dari beberapa suku bangsa indian yaitu suku bangsa indian Crow yang perna menghuni daera padang rumputdan berburu banteng, bison kebudayaan suku bangsa zuni yang bermatapencaharian sebagai petani jagung dan tinggal di daera gurun di New Mexico. Kebudayaan suku bangsa indian di kwakiutl yang tinggal di pantai barat kanada dan menjadi pemburu ikan salem dan ikan paus serta, kebudayaan penduduk pulau dobu yang terletak di sebela tenggara papua Niugini ( yakni di kepulauan d’entrecasteaux ) 

Dengan cara menganalisa adat, sopan ,santun, Iupacara-upacara, keagamaan, cerita-cerita mitologi ataupun hasil kerajinan serta kesenian dalam keempat kebudayaan tersebut di atas menurut benedict warga kebudayaan crow bersifat agresif  berwatak, kaku menghargai inisiatif dan beranggapan bahwa keteguhan iman di peroleh dengan jalan menyakiti diri sendiri dan memilih jalan yang sukar, karena sifat-sifat tersebut mirip dengan sifat-sifat yng di miliki  oleh dewa Dionysus dalam mitologi yunani, klasik ,
  Kebudayaan dan keranga tindaka teori
  Definisi mengenai kebdayaan dan juga uraian dalam bab ini mengandung beberapa pengertian penting  yaitu bahwa kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu aspek saja dari proses evsluasi manusia yang kemudian menyebabkan bahwa kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu asek saja dari proses evaluasi manusia
  Pandangan yang menyeluruh dan terintegrasi mengenai konsep kebudayaan ini dapat kita mantapkan dengan menggunakan sebuah kerangka yang di susun oleh swatu studi yang di gunakan para ahli ilmu-ilmu sosial dari universitas harvard di bawa pimpinan  ahli sisiolgi tallcot parsons di antara berbagai anggota kelompok studi itu terdaat kedua ahli sisiologi, E, shillsdan R,merton ahli antropologi C,kluckhohn ahli psikologi ,H.  A. murray di samping ilmu biologi .
  Dalam kerangka tersebut terkadang konsepsi bahwa dalam menganalisis suatu kebudayaan secara keseluruhan perlu di buat perbedaan yang tajam antara komponen-komponennya yaitu
• sistem budaya
• Sistem sosial
  Sistem kepribadian
  Sistem organisme
  Keempat komponen yang saling berkaitan erat itu merupakan entitas-entitas yang berbeda-beda sifatnya
  Sistem budaya ,merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak
  Sistem sosial, terdiri dari aktivitas-aktivtas atau tindakan-tindakan berinteraksi antar individu yang di lakukan dalam kehidupan masyarakat
  Sistem kepribadian, adalah segala hal yang menyangkut isi jiwa serta watak individu dalam interaksinya sebagai warga dari suatu  masyarakat.
  Sistem organik, merupakan pelengkap dari seluru kerangka yang melibatkan proses biologi dan biokimia yang terdapat pada diri manusia.
  Di zaman perang ke dua  benedict di tugaskan oleh angkatan perang sekutu untuk membuat suatu gambaran holistik mengenai watak khas kebudayaan jepang guna mengetahui kelemahan-kelemahan watak mereka
  Kedua proyek penelitian itu masing-masing menghasilkan buku berjudul  “Roumenia culture and behavior”
   istilah-istilai  lain yang sering digunakan dalam antropologi ( kadand-kadang dengan arti yang sama,mtetapi kadang-kadang juga berbeda ) adalah modal personality dan national character.





No comments:

Post a Comment