BAB III
KEBUDAYAAN
1. DEFINISI MENURUT ANTROPOLOGI
Menurut para ahli biologi manusia
adalah salah satu di antara hampir sejuta jenis mahluk lain yang hidup di alam
dunia ini, yang terdiri dari mahluk-mahluk yang sangat sederhana ragawinya,
seperti misalnya protozoa, hingga jenis mahluk yang sangat kompleks,yaitu
primat. Namun, diantara semua mahluk itu manusia manusia memiliki keunggulan,
yaitu kebudayaan, yang memungkinkannya hidup di segala macam lingkungan alam,
sehingga ia menjadi mahluk yang paling berkuasa dimanapun ia berada.
Walaupun demikian, segala
kemampuan manusia itu tidak merupakan bawaan dari alam (yang juga dinamakan
“naluri”, karena sudah terprogram di dalam gennya, seperti halnya pada hewan),
tetapi harus dikuasainya dengan belajar.
Dalam antropologi, yang meneliti
dan menganalisa berbagai cara hidup manusia dan berbagai system tindakan
manusia, aspek belajar merupakan aspek pokok. Karena itu dalam memberi batasan
kepada konsep “kebudayaan”, antropologi seringkali sangat berbeda dengan
berbagai ilmu lain. Arti “ kebudayaan” dalam bahasa sehari-hari pun umumnya
terbatas pada segala sesuatu yang indah, misalnya candi, tarian, seni rupa,
seni suara, kesasteraan, dan filsafat. Menurut antropologi, “kebudayaan adalah
seluruh system gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang di hasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”.
Dengan demikian hampir semua
tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya
dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (yaitu
tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu
proses fisiologi, maupun berbagai tindakan membabibuta), sangat terbatas.
Bahkan berbagai tindakan yang merupakan nalurinya (misalnya makan, minum, dan
berjalan) juga telah banyak dirombak oleh manusia sendiri sehingga menjadi
tindakan kebudayaan. Manusia makan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap
wajar dan pantas; ia makan dan minumdengan mengunakan alat-alat, cara-cara,
serta sopan-santun atau protocol yang kadang-kadang sangat rumit, yang harus
dipelajarinya dengan susah payah. Berjalanpun tidak dilakukannya lagi sesuai
dengan wujud organismenya yang telah ditentukan oleh alam, karena gaya berjalan
itu telah disesuaikan dengan berbagai gaya berjalan yang harus dipelajarinya
terlebih dahulu yaitu misalnya gaya berjalan seorang prajurit atau pragawati,
ataau gaya berjalan yang lemah lembut.
Definisi menganggap bahwa
kebudayaan dan tindakan kebudayaan merupakan segala tindakan yang harus
dibiasakan dengan belajar diajukan poleh ahli-ahli antropologi C. Wissler,52C.
kluckhohn,53 A. davis,54 dan A. Hoebel.55 definisi-definisi yang mereka ajukan hanya
beberapa saja diantara sejumlah definisi lain yang ada, baik definisi-definisi
yang diajukan oleh para pakar antropologi, maupun para ahli ilmu-ilmu sosologi,
filsafat, sejarah, dan kesusasteraan. Sebanyak 176 definisi mengenai
“kebudayaan” yang pernah muncul dalam berbagai tulisan telah berhasil
dikumpulkan oleh A. L. Kroeber dan C. kluckhohn, yang kemudian mereka analisa
dan cari latar belakang, prinsip,serta intinya, lalu diklasifikasikan ke dalam
Sembilan tipe definisi. Hasil penelitian itu mereka terbitkan bersama dalam
buku berjudul culture: A Critical review
of concepts and definitions (1952).
Istilah
“kebudayaan” dan “culture”.Kata
“kebudayaan” berasal dari kata sansekerta buddhayah,yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi
yang berarti “budi” atau “kekal”.
Kata asing culture yang berasal dari kata latin colere (yaitu “mengolah”, “mengerjakan”, dan terutama berhubungan
dengan pengolahan tanah atau bertani), meemiliki makna yang sama dengan
“kebudayaan”, yang kemudian berkembang menjadi “segala daya upaya serta
tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.
Perbedaan antara kebudayaan dan
peradaban. Selain istilah “kebudayaan”, kita juga mengenal istilah “peradaban”,
yang dalam bahasa inggris disebut civilization,
dan dipakai untuk menyebut bagian-bagian serta unsure-unsur dari kebudayaan
yang sifatnya halus, maju, dan indah, seperti misalnya kesenian, ilmu
pengetahuan, adat sopan-santun serta pergaulan, kepandaian menulis, organisasi
bernegara, dan lain-lain. Istilah “peradabaan” sering juga dipakai untuk
menyebut suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan,
seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, serta masyarakat kota yang maju
dan kompleks.
2.
EMPAT
WUJUD KEBUDAYAAN
Pakar sosiologi Talcott parsons
maupun pakar antropologi A.L.Koeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara kebudayaan sebagai suatu
sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep, dan wujudnya sebagai rangkaian
tindakan serta aktivitas manusia yang berpola.56 dalam rangka itu
J.J Honingmann membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan, yakni (1) ideas, (2) activities, dan (2) Artifacts.
Namun demikian, penulis
menyarankan agar kebudayaan dibeda-bedakan sesuai dengan empat wujudnya, yang
secara simbolis digambarkan sebagai empat lingkaran konsentris (lihat bagan
10). Lingkaran paling luar, dan karena itu letaknya pada bagian paling luar,
melambangkan kebudayaan sebagai: (1) artifacts, atau benda-benda fisik; (2)
lingkaran berikutnya (dan tentunya lebih kecil) melambangkan kebudayaan sebagai
sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola; (3) lingkaran yang berikutnya
lagi (dan lebih kecil daripada kedua lingkaran yang berada di sebelah
“luar”-nya, melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan; dan (4) lingkaran
hitam yang letaknya paling dalam dan bentuknya juga paling kecil, dan merupakan
pusat atau inti dari seluruh bagan 10, melambangkan kebudayaan sebagai sistem
gagasan yang ideologis.
Contoh dari wujud konkret dari kebudayaan, yang
dalam bagan digambarkan sebagai lingkaran 1, yaitu paling besar, adalah antara
lai banggunan-banggunan megah seperti candi borobudur, benda-benda bergerak
seperti kapal tangki, komputer, piring, gelas, kancing baju, dan lain-lain.
Semua benda hasil karya manusia tersebut bersifat konkret dan dapat diraba
serta difoto.Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam wujud konkret ini adalah
“kebudayaan fisik”.
Lingkaran 2 mengambarkan wujud
tingkah laku manusianya, yaitu misalnya menari,berbicara,tingkah laku dalam
melakukan suatu pekerjaan,dan lain-lain. Kebudayaan dalam wujud ini masih
bersifat konkret, dapat difoto, dan dapat difilm.Semua gerak-gerik yang
dilakukan dari saat ke saat dan dari hari ke hari, dari masa ke masa merupakan
merupakan pola-pola tingkah laku manusia disebut “sistem sosial”.
Lingkaran 3 mengambarkan wujud
gagasan dari kebudayaan, dan tempatnya adalah dalam kepala tiap individu warga
kebudayaan yang bersangkutan, yang dibawahnya kemana pun ia pergi. Kebudayaan
dalam wujud ini bersifat abstrak, tak dapat difoto dan difilm, dan hanya dapt
diketahui dan dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajarinya
dengan mendalam, baik melalui wawancara yang intensif atau dengan membaca.
Kebudayaan dalam wujud gagasan
juga perpola dan berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut “sistem
budaya”.
Lingkaran 4, yang bagan diberi
warna hitam, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu
kebudayaan sejak usia dini, dan karena itu sangat suar diubah. Istilah untuk
menyebut unsur-unsur kebudayan yang merupakan pusat dari semua unsur yang lain
itu adalah “nilai-nilai budaya”, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran,
cara berpikir, serta tingkah laku manusia suatu kebudayan. Gagasan-gagasan
inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai benda yang diciptakan manusia
berdasarkan nilai-nilai, pikiran dan tingkahlakunya.
3.
ADAT-ISTIADAT
Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi. Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Sebabnya ialah karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat,sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan
Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi. Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Sebabnya ialah karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat,sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan
Walaupun nilai-nilai budaya
berfungsi sebagai pedoman hidup warga sesuatu masyarakat, sebagai konsep
sifatnya sangat umum, memiliki ruang lingkup yang sangat luas,dan biasanya
sangat sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena itulah
ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang. Lagipula, dari kecil
orang telah di resapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di masyarakatnya,
sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Karena itu
untuk menganti suatu nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain
diperlukan waktu lama.
Dalam setiap masyarakat, baik yang
kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yan saling berkaitan
dan bahkan telah merupakan suatu sistem.Sebagai pedoman dari konsep-konsep
ideal, sistem itu menjadi pendorong yang kuat untuk mengarahkan kehidupan warga
masyarakat.
suatu sistem nilai budaya
seringkali merupakan suatu pandangan hidup, walaupun kedua istilah itu
sebaiknya tidak disamakan. “pandangan hidup” biasanya mengandung sebagian dari
nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, dan telah dipilih secara
selektif oleh individu-individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan
demikian, apabila “sistem nilai” merupakan pedoman hidup yang di anut oleh
suatu masyarakat, maka “pandangan hidup” merupakan seutu pedoman yang dianut
oleh golongan-golongan atau bahkan individu-individu. Tertentu dalam suatu
masyarakat.Karena itu suatu pandangan hidup tidak berlaku bagi seluruh
masyarakat
Konsep “ideologi” juga merupakan suatu sistem pedoman hidup (atau ciri-ciri) yang ingin dicapai oleh para warga suatu masyarakat namun yang sifatnya lebih khusus daripada sistem nilai budaya. “ideologi” dapat menyangkut seluruh masyarakat (dalam kenyataan tentu ada ketercualian) tetapi dapat juga hanya golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, istilah “ideologi” umumnya tidak digunakan dalaam hubungan dengan individu. Karena itu yang ada adalah “ideologi negara”, “ideologi suatu masyarakat”, “ideologi golongan”, dan lain-lain, tetapi kita tidak dapat mengatakan “ideologi si anu”. Untuk hal yang terakhir kita mengatakan “cita-cita si anu”.Ideologi suatu negara negara biasanya disusun secara sadar oleh para tokoh pemiliknya. Yang akan berupaya untuk menyebar-luaskannya kepada para warganya.
Konsep “ideologi” juga merupakan suatu sistem pedoman hidup (atau ciri-ciri) yang ingin dicapai oleh para warga suatu masyarakat namun yang sifatnya lebih khusus daripada sistem nilai budaya. “ideologi” dapat menyangkut seluruh masyarakat (dalam kenyataan tentu ada ketercualian) tetapi dapat juga hanya golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, istilah “ideologi” umumnya tidak digunakan dalaam hubungan dengan individu. Karena itu yang ada adalah “ideologi negara”, “ideologi suatu masyarakat”, “ideologi golongan”, dan lain-lain, tetapi kita tidak dapat mengatakan “ideologi si anu”. Untuk hal yang terakhir kita mengatakan “cita-cita si anu”.Ideologi suatu negara negara biasanya disusun secara sadar oleh para tokoh pemiliknya. Yang akan berupaya untuk menyebar-luaskannya kepada para warganya.
Adat-istiadat, norma,dan hukum.
Dalam bagian diatas telah kita pelajari bahwa nilai-nilai budaya sebagai
pedoman yang memberi arah serta orientasi kepada hidup, sangat umum sifatnya.
Sebaliknya, norma yang terdiri dari aturan-aturan untuk bertindak sifatnya khusus, dan
perumusannya pada umumnya sangat rinci,jelas,tegas,dan tidak meragukan. Apaila sifatnya terlalu umum,
ruang lingkupnya terlalu luas, dan perumusannya terlalu kabur, maka suatu norma
tidak dapat mengatur tindakan individu, dan malahan dapat membinggungkan
pelaksananya.
Norma-norma yang khusus itu dapat digolongkan menurut pranata-pranata masyarakat yang ada. Dalam BAB V,sub-sub 4 mengenai pranata sosial akan kita pelajari bahwa tiap masyarakat memiliki sejumlah pranata,seperti misalnya pranata ilmiah, pendidikan, peradilan, ekonomi, kesenian, keagamaan, dan sebagainya. Dalam bab yang sama juga diuraikan bahwa dalam setiap pranata ada berbagai kedudukan, dan dalam suatu interaksi sosial, individu ysng menempati kedudukan tersebut memainkan perannya yang sesuai. Dalam hal ini tindakanya harus disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada,yakni menurut norma-norma yang jelas dan tegas.
Norma-norma yang khusus itu dapat digolongkan menurut pranata-pranata masyarakat yang ada. Dalam BAB V,sub-sub 4 mengenai pranata sosial akan kita pelajari bahwa tiap masyarakat memiliki sejumlah pranata,seperti misalnya pranata ilmiah, pendidikan, peradilan, ekonomi, kesenian, keagamaan, dan sebagainya. Dalam bab yang sama juga diuraikan bahwa dalam setiap pranata ada berbagai kedudukan, dan dalam suatu interaksi sosial, individu ysng menempati kedudukan tersebut memainkan perannya yang sesuai. Dalam hal ini tindakanya harus disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada,yakni menurut norma-norma yang jelas dan tegas.
Norma-norma yang ada dalam suatu
pranata maupun dalam sub-sub pranatanya, tentu saling berkaitan, sehingga
merupakan suatu sistem yang integral. Kecuali itu, norma-norma dalam suatu
pranata tertentu berkaitan pula dengan norma-norma dalam pranata –pranata lain
yang berdekatan, sehingga seluruhnya menjadi sistem-sistem yang lebih luas,
yang merupakan unsure-unsur kebudayaan universal. Konsep ini akan dibicarakan
secara khusus dalam seksi di bawah.
Sistem-sistem norma yang lebih
luas tersebut di atas biasanya hanya dipahami beberapa warga dalam suatu
masyarakat, yaitu mereka yang paham mengenai seluk-beluk sistem norma yang
terdapat dalam suatu pranata (atau berbagai pranata yang saling berkaitan),
yakni para ahli adat. Para ahli adat inilah tempat para warga masyarakat awam
yang memiliki pengetahuan mengenai adat yang sangat terbatas, dapat memintah
nasihat.
Dalam suatu masyarakat yang
sederhana, dimana julmlah pranata yang ada dalam kehidupan masih sangat kecil,
dan dimana jumlah norma dalam suatu pranata juga kecil, pengetahuan mengenai
semua norma yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan masih dapat dikuasai
oleh suatu orang ahli adat saja. Namun apabila suatu masyarakat telah
berkembang makin kompleks, sehingga jumlah pranata yang ada juga kian banyak,
maka seorang ahli adat tidak mungkin dapat menguasai semuanya.Bahkan sudah
sangat banyak, sehingga untuk satu pranata diperlukan sejumlah ahli.Misalnya,
norma-norma pranata ekonomi telah menjadi demikian banyaknya sehingga perlu ada
seseorang ahli khusus yang paham mengenai norma-norma perdaganggan, seorang
ahli khusus yang paham mengenai norma-norma perburuan, seorang ahli khusus yang
paham mengenai norma-norma kopersi, dan seterusnya.
Diantara berbagai norma yang ada
di dalam suatu masyarakat, ada yang dirasakan lebih besar daripada lainnya.
Pelanggaran terhadap suatu norma yang dianggap tidak begitu berat umumnya tidak
akan membawa akibat yang panjang, dan mungkin hanya menjadi bahan ejekan atau
pengunjinggan para warga masyarakat. Sebaliknya, ada norma-normaa berakibat
panjang apabila dilanggar, sehingga pelanggarnya bisa jadi dituntut, diadili,
dan dihukum. Ahli sosiologi W.G Sumner menyebut norma-norma golongan pertama folkways, dan norma-norma golongan kedua
disebut mores.57 istilah folkways dapat kita terjemahkan dengan
“tata cara”, sedangkan mores dapat
diterjemahkan dengan “adat-istiadat dalam arti khusus”.
Norma-norma dari golongan
adat-istiadat yang mempunyai akibat yang panjang juga merupakan “hokum”,
walaupun mores seperti yang
dikonsepsikan oleh summer hendaknya tidak disamakan dengan “hokum”, karena
norma-norma yang mengatur upacara suci tetentu juga tergolong mores (dalam banyak kebudayaan,
norma-norma seperti itu dianggap berat, dan pelanggaran terhadapnya dapat
menyebabkan keteganggan dalam masyarakat yang berakibat panjang, walaupun
pelanggaran terhadap norma-norma seperti itu
belum
tentu mempunyai akibat hokum). Dengan demikian perlu kita ketahui dengan
cermat, perbedaan antara norma-norma yang tergolong hukum dan norma-norma yang
tergolong hukum adat.
Perbedaan antara “adat” dan
“hukum adat” (yaitu antara cirri-ciri dasar dari hukum dan hukum adat) sejak
lama telah menjadi buah pikiran para ahli antropologi.58 ada
golongan ahli antroplogi yag beranggapan bahwa dalam masyarakat yang tak
bernegara (misalnya kelompok-kelompok pemburu dan peramu, serta para peladang
yang hidup di daerah terpencil), tidak terdapat aktifitas hukum, karena
definisi para ahli mengenai “hukum” mereka batasi pada aktifitas-aktifitas
hukum seperti yang terdapat dalam masyarakat yang bernegara (yaitu sistem
penjagaan tata tertib masyarakat yang sifatnya memaksa, dan diperkuat oleh
suatu sistem alat kekuasaan yang diorganisasi oleh negara). Salah seorang
penganut pendirian ini adalah A.R. Radcliffe-brown, yang menyatakan bahwa
masyarakat-masyarakat yang tidak memiliki hukum seperti itu mampu menjaga tata
tertib karena mereka memiliki suatu kompleks norma-norma umum (yaitu adat) yang
sifatnya mantap dan ditaati oleh semua warganya. Pelanggran-pelanggaran yang
terjadi secara otomatis akan menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga
pelanggarnya akan dikenai hukuman. Mengenai hal ini, lihat antara lain
pendirian Radcliffe-brown dalam tulisannya yang berjudul “ primitive law”,
dalam: Encyclopedia of the social
sciences (1993,IX-X: hlm 202-206).
Para ahli yang menganut pendirian
yang kedua, yaitu antara lain B. Malinoswki, tidak hanya mengkhususkan definisi
mereka tentang hukum dalam masyarakat bernegara yang dilengkapi dengan suatu
alat-alat kekuasaan saja. Menurut mereka, antara “hukuma” dalam masyarakat
bernegara dan “hukum” dalam masyarakat terbelakang ada dasar yang universal
sifatnya. Dengan membandingkan beragam masyarakat dan kebudayaan di muka bumi,
para ahli ini mengajukan konsepsi tentang dasar dari hukum pada umumnya, yaitu
bahwa semua aktifitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi sejumlah hasrat
naluri manusia (antara lain hasrat untuk saling memberi dan saling menerima,
yang oleh Malinowski
Menurut
Ter Haar, pedoman untuk mengetahui kapan suatu kasus dalam suatu masyarakat
dngan adata dan sistem hukum yang tidak
dikodifikasikan, merupakan kasus atau tidak, adalah keputusan-keputusan para
individu pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Pendirian ini di anjurkannya dalam
beberapa pidato ilmiah yang pernah di ucapkannya, seperti antara lain pidato
berjududl het adatprivaatrecht van nederlandsh-indie in wetenschap, praktijk en
onderwijs (1937). Pendirian ini lebih dekat pada pendirian Radcliffe_Brown,
baik dalam hukum maupun dalam hukum adat, dan sifat “paksaan” yang datang dari
atas senantiasa ada.Dalam masyarakat yang tidak mengenal negara sebagai
organisasi yang bersifat memaksa, paksaan dilakukan oleh golongan yang
berkuasa, yang ada dalam setiap jenis masyarakat.
4.
UNSUR-UNSUR
KEBUDAYAAN
unsur-unsur kebudayaan Universal. Dalam menganalisa suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan minangkabau, bali, atau jepang), seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang terintegrasi itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”. Mengenai hal ini ada beberapa pandangan, sperti yang di uraikan oleh C. Kluckhohn dalam karagannya berjudul Univesal Categories Og Culture (1953). Dengan mengambil intisari dari berbagai kerangka yang ada mengenai unsur-unsur kebudayaan universal, unsur-unsur kebudayaan yang dapat di temukan pada semua bangsa didunia berjumlah tujuh buah, yang dapat di sebut sebagi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu :
unsur-unsur kebudayaan Universal. Dalam menganalisa suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan minangkabau, bali, atau jepang), seorang ahli antropologi membagi seluruh kebudayaan yang terintegrasi itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”. Mengenai hal ini ada beberapa pandangan, sperti yang di uraikan oleh C. Kluckhohn dalam karagannya berjudul Univesal Categories Og Culture (1953). Dengan mengambil intisari dari berbagai kerangka yang ada mengenai unsur-unsur kebudayaan universal, unsur-unsur kebudayaan yang dapat di temukan pada semua bangsa didunia berjumlah tujuh buah, yang dapat di sebut sebagi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu :
- Bahasa
- Sistem pengetahuan
- Organisasi sosial
- Sistem peralatan hidup dan teknologi
- Sistem mata pencaharian hidup
- Sistem religi
- Kesenian
Tiap unsur kebudayaan universal
tentu juga terdapat dalam ketiga wujud kebudayaan terurai diatas (wujud berupa
sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisikanya). Denggan demikian sistem ekonomi, tetap juga
berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antar
produsen,tengkulak,pandangan,ahli transpor, dan pengecer dengan para konsumen,
atau berbagai unsurnya , seperti peralatan,komoditi,dan benda-benda
ekonomi.serupa dengan hal tersebut diatas,sistem rligi dapat mempunyai wujud
sebagai sistem keyakinan dan gagasan tentang tuhan, dewa-dewa,ruh-ruh
halus,neraka,surga,dan lain-lain, tetapi juga sebagai berbagai upacara ( baik
yang musiman maupun kadangkala),maupun berwujud berbagai gagasan
,ciptaan,pikiran,dongeng, atau syair yang indah,tetapi juga dapat mempunyai
wujud sebagai berbagai tindakan interaksi berpola antara sesama seniman
pencipta, penyelengara,sponsor kesenian, pendengar, penonton,mau pun para
peminat hasil kesenian, disamping wujudnya berupa benda-benda yg indah, candi,
kain tenun yang indah, dan lain-lain.
Ketujuh unsur kebudayan universal
tersebut diatas merupakn analisa dari rincian kebudayaan ke dalam
bagian-bagiannya dan dapat dan dapat dibandingkan daftar pranata-pranata sosial
yang akan diuraikan dalam sub-sum 4 dari bab V, yg nerkaitan dengan uraian
mengenai rincian masyarakat kedalam bagian-bagiannya oleh unsur-unsur
kebudayaan universal, dan metod pembangunan masyarakat oleh suatu pranata.
Untuk menentukan bagian-bagian dari
suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi biasanya mulai dengan
pendekatan holistik, yaitu mengamati
kebudayaan yang bersangkut. Baru kemudian ditentukan bagian-bagian dari
kebudayaan minangkabau itu, yaitu misalnya sistem kekerabatannya, bagian-bagian
khusus dari sistem kekerabatannya (misalnya perkawinan, keluarga inti,rumah
tangga, dan lain-lain), dan akhirnya rincian dari unsur perkawinan ke dalam
bagian-bagian yg sangat khusus, yaitu adat melamar, upacara pernikahan,
penyerahan maskawin, dan lain-lain.
berbeda dengan metode tersebut di
atas, metode yg biasanya digunakan oleh para ahli sosiologi adalah untuk
menentukan pranata yg ada dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini masyarakat
tidak dipandang sebagai suatu keseluruhan yg kemudian dipilah-pilah ke dalam
pranata-pranata tetapi dimulai dari suatu pranata yg telah ditentukan untuk
diteliti (misalnya seni pertunjukan srimulat),dengan cara menganalisa
organisasinya,latar belakang sosial serta pendidikan para pemainnya,
gagasan-gagasan yg melatarbelakangi inti cerita, dan seterusnya.
Dengan berpegang dari keempat
kebudayaan yg telah diuraikan dalam sub-sub 2 dari bab ini, yaitu kebudayaan
sebagai (1) nilai-nilai budaya, (2) sistem budaya,(3) sistem sosial,dan (4)
himpunan unsur-unsur kebudayaan fisik, dan mengunakan metode seperti yg
dianjurkan oleh R.Linton, tetapi dengan istilah-istilah yg berbeda, penulisan
menyarankan pengunaan kerangka dengan pembagian ke dalam empat tahap, sehingga
pada tahap pertamasetiap sistem budaya dapat dibagi kedalam “adat istiadat”, setiap sistem sosial dapat
dibagi kedalam “aktivitas sosial”, dan
setiap impunan unsur kebudayaan fisik dapat dibagi kedalam “benda-benda
kebudaayaan” yang masing-masing disebut sesuai dengan nama benda-benda
tersebut.
pada tahap kedua , setiap adat
sebaiknya dibagi kedalam “kompleks budaya”, dan begitu juga setiap aktivitas
sosial lebih lanjud dibagi kedalam “kompleks sosial”, sedangkan benda
kebudayaan tentu tidak berubah.
pada tahap ketiga, disarankan agar
tiap-tiap kompleks sosial lebih lanjud diuraikan menjadi sebagian jenis “pola
sosial” dan seperti pada tahap kedua, benda kebudayaan tidak mengalmi perubahan
, seperti juga pada tajap berikutnya.
pada tahap keempat, setiap tema
budaya dapat dirinci lagi kedalam “gagasan” dan setiap pola sosial ke dalam
“tindakan”
Sebagai contoh, dibawah ini
digambarkan rincihan dari “sistem mata pencarian” kedalam unsur-unsur dan
sub-sub unsurnya. Unsur kebudayaan ini dapat dirinci kedalam sub-sub unsur
sebagai berikut:perburuan, pelandangan,perkebunan,pertanian,peternakan,perdagangan,industri,
kerajinan, industri pertambangan,
industri jasa, industri manufaktur, dan lain-lain, dan wujud wujud dari tiap
bagian tersebut adalah adatnya, sementara wujud sistem sosialnya adalah
kandungan berupa peralatan yg digunakan.
Organisasi sosial pun dapat dirinci sampai pada sub-sub unsurnya, yaitu
sistem kekerabatan, sistem komunikasi, sistem pelapisan sosial, sistem
pimpinan, sistem polotik, dan lain-lain.
Dari contoh diatas tampak bahwa
diantara unsur-unsur “organisasi sosial” juga terdapat beberapa yang sifatnya
universal, yaitu sistem kekerabatan. Namin demikian,”sistem kekerabatan”
sebaiknya dimasukan kedalam “adat” atau “kompleks budaya” saja, dan tidak
kedalam “unsur budaya universal” karena hanya berupa sub-unsur khusus saja dari
“organisasi sosial”.
Irigasi, pengelolah dan pengarapan
tanah, teknologi menanam, penimbunan hasil pertanian, dan lain-lain, merupakan
contoh dari rincian “adat” dan “aktivitas sosial” kedalam beberapa kompleks
sosial. Demikian juga perkawinan, tolong menolong antarkerabat,sopan santun
pergaulan antarkerabat,sistem istilah kekerabatan, danlain-lain,merupakan
rincian dari sistem kekerabatan.setiap sub-unsur tersebut tentu memiliki
perlatan-peralatannya masing-masing, yang secara konkret terdiri dari
benda-benda kebudayaan.
Dan contoh-contoh diatas tampak
bahwa diantara unsur-unsur tersebut ada yg sifatnya universal, yaitu
“perkawinan”. Namun, seperti halnya
“sistem kekerabatan”, “ sistem perkawinan” sebaiknya tidak disebut “unsur
kebudayaan universal”, tetapi tetap
“kompleks budaya” dan “ kompleks sosial”saja. Kompleks budaya dan kompleks
sosial selanjudnya dapat dirinci lagi kedalam tema budaya dan pola
sosial,sehingga”perkawinan” dapan dirinci ke
Dalam “melamar”,”upacara
perkawinan”,”perayaan”,”mas kawin”,”harta bawaan mempelai wanita”,”adat menetap
sesudah menikah”,”poligami”,”poliandri”, ”perceraian”, dan lain-lain.
tahap rincian yang terakhir adalah
rinci dari tema budaya dan pola sosial dalam
“gagasan” dan “tindakan”, sehingga “ mas kawin” dapat dirinci lebih jauh
menjadi sub-sub-unsur seperti misalnya bagian dari harta mas kawin berupah
tanah,ternak,benda-benda adat,benda-benda pralambang,perhiasan, uang, dan
lain-lain, upacara penyerahan mas kawin, upacara pertukaran harta antara
mempelai pria dan wanita, dan lain-lain.
Unsur-unsur tersebut terakhir ini
biasanya tidak ada yg bersifat unversal, karena sudah terlalu khusus sifatnya.
Harta mas kawin berupa ternak, misalnya,
tidak berupa unsur yang suka bangsa saja. Walaupun demikian, unsur
tersebut terdapat pada sejumlah kebudayaan suku bangsa peternak afrika timur.
karena itu pada suku-suku bangsa
tersebut sapi merupakan unsur yang dominan dari mas kawin.
5.
INTEGRASI
KEBUDAYAAN
Metode
holistic cara
menganalisa suatu kebudayaan tidak hanya dilakukan dengan berbagai cara
merincinya kedalam unsur-unser yang lebih kecil yang dipelajari secara
mendetail saja, tetapi juga dengan memahami kaitah antar unsur kecil tersebut
serta kaitah antara unsur-unsur kecil itu dengan keseluruhannya. Istilah
“Holistik” adalah untuk mengambarkan metode pendekatan yang dilakukan terhadap
suatu kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral.
Antropologi memang telah mengambarkan beberapa
konsep guna memenuhi berbagai kaitah
antara unsur-unsur kecil dalam suatu kebudayaan dan para ahli tentu juga telah
paham akan adanya integrasi atau jaringan berkait antara unsur-unsur kebudayaan
itu namun perlunya mempelajari masalah integrasi kebudayaan itu secara lebih
mendalam baru disadari setelah tahun 1920.karena itu muncul konsep-konsep untuk
menganalisa masalah integrasi kebudayaan,yakini pikiran kilektif, fungsi dari
unsur-unsur kebudayaan,fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum.
Konsep tentang keempat wujud kebudayaan
dan konsep tentang tujuan unsur kebudayaan universal terurai dalam sub-bab
terdahulu, telah digabungkan oleh penulisan menjadi suatu “kerangka kebudayaan”
seperti yang yampak pada bagan 10 dibawah.
pikiran kolektif. Pada akhir abad
ke-19,E. durkheim, pakar sosiologi dan antropologi parancis mengembangkan
konsep representations collectives (pikiran-pikiran kolektif), seperti
yang diuraikannya dalam kerangkanya berjudul representations
individuelles et
representationscollectives (1898).
Cara menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara yang
dilakukan dalam ilmu psikologi untuk menguraikan konsep berpikir. Durkheim juga
beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas serta proses-proses rohaniah seperti
penangkapan pengalaman,rasa,sensasi,kemauan,keingginan, dan lain-lain. Terjadi dalam organisme fisik manusia, dan
cara khusus berpangkas diotak dan sistem sarafnya akal manusia mampu
menghubung-hubungkn proses-proses rohaniah.
Gagasan-gagabahkan juga
oleh sebagian besar warga suatu masyarakat, sehingga dalam hal itu bicara
tentang “gagasan umum”atau “gagasan masyarakat”, yang oleh Durkheim
berpendirian bahwa suatu gagasan yang telah dimiliki sebagian warga masyarakat
sudah bukan lagi suatu gagasan tunggal mengenai suatu hal khas, tetapi umumnya
telah berkaitan dengan berbagai gagasan lan yang sejenis, sehingga menjadi
suatu kompleks gagasan-gagasan (representations collectives). Agar lebih mudah
membedakan antara gagasan tunggal dan kompleks gagasan-gagasan, sebaliknya
representations collectives kita terjemahkan dengan “pikiran kolektifsan juga
dapat dimiliki oleh lebih dari seseorang individu, dan”
sebab perkataan “pikiran” sifatnya lebih luas dari pada
“gagasan”.
Menurut Durkheim,
apabila suatu kompleks pikiran kolektif
sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka seluruh kompleks itu berada di
luar diri si individu karena seluruh
pikiran kolektif serta gagasan-gagasan yang merupakan unsur-unsurnya akan
tersimpan dalam bahasa dan dapat tetap dimiliki oleh generasi-generasi
berikutnnya. Selain diluar individu, pikiran kolektif juga berada di atas para
warga suatu masyarakat, sehingga menjadi pedoman tingkah laku mereka.
Istilah-istilah lain
yang juga sering digunakan selain “pikiran umum” atau “pikiran “ adalah
configuration, suatu istilah yang mula-mula digunakan oleh ahli ligustik dan
antropologi E. Sapir, di dalam bukunya The Unconscions Patterning Of
Behavior In Society (1927), dengan arti
yang kurang lebih sama dengan representations collectives dari Durkheim. Namun
walaupun istilah configuration banyak di pakai, dalam antropologi istilah ini
kurang berkembang.
Fungsi Unsur-unsur
Kebudayaan. Beberapa ahli antropologi lain berusaha mencapai pengertian
mengenai integrasi kebudayaan dan jaringan berkaitan antara unsur-unsurnya
dengan meneliti fungsi unsur-unsur tersebut. Istilah “fungsi” dapat digunakan
dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda.
Pemakaian istilah itu
dalam tulisan-tulisan ilmiah menurut ahli antropologi M.E. Spiro adalah untuk :
1. Menerangkan fungsi
itu sebagai hubungan antara sesuatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya
mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari
tempat ke tempat lainnya).
2. Menjelaskan kaitan
antara suatu hal (X) dengan hal lain (Y), sehingga apabila nilai S berubah,
maka nilai Y yang di tentukanoleh X, juga berubah.
3. Menerangkan hubungan
yang terjadi antara suatu hal dan hal-hal lain dalam suatu sistem yang
terintegrasi (suatu bagian dari organisme yang berubah menyebabkan perubahan pada
bebagai bagian lain dan malahan dapat menyebabkan perubahan dari seluruh
organisme)
“Fungsi” dalam arti
pertama yang merupakan istilah yang umum, baik dalam bahasa ilmiah maupun
bahasa sehari-hari.Dalam ilmu pasti, tetapi juga dalam imu-ilmu sosial, artinya
yang kedua dari istilah itu sangat penting, dan dalam artinya yang ketiga
terkandung kesadaran dan adannya integrasi kebudayaan.
Pandangan bahwa
kebudayaan yang hidup sebagai suatu sistem yang terintegrasi, mulai berkembang
setelah tahun 1925, dengan terbitnya buku etografi B. Malinowski tentang
penduduk kepulauan Trobriand, yaitu The Argonauts Of The Western Pacific
(1922). Buku mengenai kehidupan orang papua tersebut di tuliskan dengan gaya
bahasa yang sangat memukau dan dengan cara yang sangat khas.
fokus dari buku
tersebut adalah sistem pelayaran untuk perdagangan antarpulau, yang bahasa
setempat disebut kula. Perahu-perahu percadik yang di gunakan untuk pelayaran
tersebut menempuh jarak puluhan mil dan berlangsung berbulan-bulan, untuk
memperdagangkan benda-benda cuci (sulava) berupa kalung-kalung terbuat dari
kerang secara barter benda-benda suci lainnya yang bernama mwali, berupa
gelang-gelang, yang di bawah oleh perahu-perahu yang datang dari arah yang
berlawanan. Bersamaan dengan pertukaran benda-benda suci itu, terjadi juga
berbagai transaksi oerdagangan dan barter dari sejumlah benda ekonomi.
Cara menulis suatu
deskripsi etnografi terintegrasi (holistik) seperti tersebut di atas pada zaman
Malinowski itu merupakan suatu hal baru dalam antropologi.
Pada waktu itu banyak
ahli antriopologi dari aliran kulturhistorisch (yaitu aliran sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan di muka bumi) secara ekstrem memusatkan perhatiannya pada
arah penyebaran geografi dari sejumlah unsur kebudayaan tertentu, tanpa
mengindahkan adanya suatu jaringan kaitan berfungsi dengan kebudayaan induknya.
Oleh karena itu cara penulisan Malinowski yang mengambarkan integrasi
kebudayaan trobriand yang berpusat pada perdangangan ula itu merupakan kontras
yang sangat menarik pada waktu itu.
Jalan pikiran mengenai
jalan fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan suatu masyarakat,
yang mulai muncul setelah terbitnya tulisan
malinowski tersebut di atas, kemudian di sebut aliran Fungsionalisme.
Dalam aliran itu ada
berbagai pendapat mengenai fungsi dasar dari unsur-unsur kebudayaan manusia,
yang dalam buku ini tidak perlu diuraikan panjang lebar, walaupun pendapat
Malinowski sendiri mengenai masalah itu ada gunanya kita tinjau di sini.
Menurut Malinowski, berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat
gunanya untuk memuaskan sejumlah hasrat naluri manusia. Karena itu unsur
“kesenian”, misalnya, berfungsi untuk memuaskan hasrat naluri manusia akan
keindahan; unsur “sistem pengetahuan” untuk memuaskan hasrat untuk tahu.
Andaikata kita dapat membuat suatu daftar yang sangat lengkap dari semua hasrat
naluri manusia di sebelah kiri, maka sebelah kanan dapat di buat daftar dari
unsur-unsur kebudayaan manusia yang sejajar dengan hasrat-hasrat tadi (tentu
ada unsur-unsur kebudayaan yang berfungsi untuk memuaskan lebih dari hasrat,
seperti misalnya keluarga, yang dapat berfungsi untuk memenuhi hasrat akan
perasaan aman dan mesra, tetapi juga akan prokreasi; dan rumah dapat memenuhi
kebutuhan orang akan perlindungan fisik, tetapi juga gengsi atau keindahan).
Teori mengenai fungsi
kebudayaan dikembangkan Malinowski pada akhir hayatnya, sehingga terbitnya buku
yang memuat teori itu, yaitu A Scientific Theory Of Culture And Other Essays
(1944) tidak sempat dialaminya.
Fokus kebudayaan. Dalam
berbagai kebudayaan terdapat satu atau beberapa unsur kebudayaan atau pranata
yang menjadi unsur pusat dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga unsur
tersebut digemari oleh warga masyarakat dan mendominasi berbagai aktifitas atau
pranata lain yang ada. Contohnya adalah kesenian dalam masyarakat orang bali,
gerakan kebaktian dan mistik dalam kebudayaan golongan pegawai negeri (yaitu
priyayi) di jawa tengah, peran antaraferderasi kelompok kekerabatan dalam
masyarakat suku bangsa Dani di irian jaya (yang sejak tahun 1979-an sudah tidak
di perkenakan lagi), atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand.
Suatu kompleks
unsur-unsur kebudayaan yang tampak sangat digemari warga masrakat yang
bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton disebut caltural interest
atau social interest. Untuk penggunaannya dalam bahasa indonesia, penulis
mengusulkan istilah “fokus kebudayaan”, yaitu suatu istilah untuk pertama kali
digunakan oleh M.J. Herskovits.
Etos Kebudayaan. Dari
suatu kebudayaan dapat tampak suatu watak khas (ethos), seperti yang tampak
misalnya pada gaya tingkah laku, kegemaran, atau benda-benda budaya hasil karya
para warga masyarakat . Dengan demikian orang batak yang mengamati kebudayaan
jawa yang bagian asing., mungkin akan mengatakan bahwa watak khas kebudayaan
jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenagan yang berlebihan sehingga
dapat di sebut lamban, kebiasaan dan tingkah laku yang mendetil (njlimet),dan
Dalam artopologi,
penelitian-penelitian mengenai watak kebudayaan seperti itu di pelopori oleh
Ruth Benedict yang menggambarkan watak kebudayaan dari beberapa suku bangsa
indian yaitu suku bangsa indian Crow yang perna menghuni daera padang rumputdan
berburu banteng, bison kebudayaan suku bangsa zuni yang bermatapencaharian
sebagai petani jagung dan tinggal di daera gurun di New Mexico. Kebudayaan suku
bangsa indian di kwakiutl yang tinggal di pantai barat kanada dan menjadi
pemburu ikan salem dan ikan paus serta, kebudayaan penduduk pulau dobu yang
terletak di sebela tenggara papua Niugini ( yakni di kepulauan d’entrecasteaux
)
Dengan cara menganalisa
adat, sopan ,santun, Iupacara-upacara, keagamaan, cerita-cerita mitologi
ataupun hasil kerajinan serta kesenian dalam keempat kebudayaan tersebut di
atas menurut benedict warga kebudayaan crow bersifat agresif berwatak, kaku menghargai inisiatif dan
beranggapan bahwa keteguhan iman di peroleh dengan jalan menyakiti diri sendiri
dan memilih jalan yang sukar, karena sifat-sifat tersebut mirip dengan
sifat-sifat yng di miliki oleh dewa
Dionysus dalam mitologi yunani, klasik ,
Kebudayaan dan keranga tindaka teori
Definisi mengenai kebdayaan dan juga uraian dalam
bab ini mengandung beberapa pengertian penting
yaitu bahwa kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu aspek saja dari
proses evsluasi manusia yang kemudian menyebabkan bahwa kebudayaan mula-mula
hanya merupakan satu asek saja dari proses evaluasi manusia
Pandangan yang menyeluruh dan terintegrasi mengenai
konsep kebudayaan ini dapat kita mantapkan dengan menggunakan sebuah kerangka
yang di susun oleh swatu studi yang di gunakan para ahli ilmu-ilmu sosial dari
universitas harvard di bawa pimpinan
ahli sisiolgi tallcot parsons di antara berbagai anggota kelompok studi
itu terdaat kedua ahli sisiologi, E, shillsdan R,merton ahli antropologi
C,kluckhohn ahli psikologi ,H. A. murray
di samping ilmu biologi .
Dalam kerangka tersebut terkadang konsepsi bahwa
dalam menganalisis suatu kebudayaan secara keseluruhan perlu di buat perbedaan
yang tajam antara komponen-komponennya yaitu
• sistem budaya
• Sistem sosial
Sistem kepribadian
Sistem organisme
Keempat komponen yang saling berkaitan erat itu
merupakan entitas-entitas yang berbeda-beda sifatnya
Sistem budaya ,merupakan komponen dari kebudayaan
yang bersifat abstrak
Sistem sosial, terdiri dari aktivitas-aktivtas atau
tindakan-tindakan berinteraksi antar individu yang di lakukan dalam kehidupan
masyarakat
Sistem kepribadian, adalah segala hal yang
menyangkut isi jiwa serta watak individu dalam interaksinya sebagai warga dari
suatu masyarakat.
Sistem organik, merupakan pelengkap dari seluru
kerangka yang melibatkan proses biologi dan biokimia yang terdapat pada diri
manusia.
Di zaman perang ke dua benedict di tugaskan oleh angkatan perang
sekutu untuk membuat suatu gambaran holistik mengenai watak khas kebudayaan
jepang guna mengetahui kelemahan-kelemahan watak mereka
Kedua proyek penelitian itu masing-masing
menghasilkan buku berjudul “Roumenia
culture and behavior”
istilah-istilai lain yang sering digunakan dalam antropologi
( kadand-kadang dengan arti yang sama,mtetapi kadang-kadang juga berbeda )
adalah modal personality dan national character.
No comments:
Post a Comment